Amerika Latin Pasca Perang Dunia 2

BAB I PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Perang Dunia II meletus pada 1 September 1939, dan Amerika Serikat menyatakan mereka tidak ingin terlibat. Sebagian besar warga Amerika merasa AS sebaiknya tetap netral. Jepang mengebom Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Akibatnya, Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Blok Poros (Jerman, Jepang, dan Italia). Amerika Serikat terlibat dalam dua front, yaitu Front Pasifik melawan Jepang, dan Front Eropadan Afrika melawan Jerman dan Italia.
Keterlibatan amerika serikat dalam perang dunia II, masyarakat pada saat itu Amerika sedang cemas mengamati jalannya perang di Eropa, ketegangan semakin meningkat di Asia. Setelah mengambil kesempatan untuk memperbaiki posisi strategi nya, Jepang dengan percaya dirinya menyatakan bahawa mereka akan berkuasa di seluruh daratan Pasifik. Negara dengan cepat melakukan mobilisasi rakyat dan seluruh kapasitas industrinya. Pada tanggal 6 Januari 1942, Presiden Roosevelt mengumumkan target produksi yang mengejutkan. Tahun itu ditargetkan harus selesai 60.000 pesawat, 45.000 tank, 20.000 meriam antipesawat, dan 18 juta ton pengiriman niaga.seluruh kegiatan nasional yang meliputi pertanian, manufaktur, pertambangan, perdagangan, tenaga kerja, investasi, komunikasi, bahkan pendidikan dan kegiatan budaya berlangsung di bawah pengawasan baru yang menyeluruh.


1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan rumusan masalahnya sebagai berikut:
  1. Bagaimana gambaran dan kondisi Amerika Latin?
  2. Bagaimana dinamika politik Amerika Latin pasca Perang Dunia II?
  3. Bagaimana Situasi Amerika Latin pasca Perang Dunia II?
1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, dapat dikemukakan tujuannya adalah sebagai berikut:
  1. Mengetahui gambaran dan kondisi Amerika Latin
  2. Mengetahui dinamika politik Amerika Latin pasca Perang Dunia II
  3. Mengetahui Situasi Amerika Latin pasca Perang Dunia II

























BAB II PEMBAHASAN


2.1 Gambaran dan Kondisi Amerika Latin
Amerika Latin adalah wilayah yang banyak didatangi oleh para penjajah karena memiliki banyak sumber daya alam, oleh karena itu sejarah perpolitikannya banyak diwarnai oleh negara-negara di luarnya. Pada abad ke-16 Spanyol dan Portugis menguasai wilayah Amerika Latin dengan kekerasan dan penaklukan yang sejalan dengan politik merkantilis pada masa itu (Hennida, 2012:47). Pada abad 17 hingga 18 wilayah di Amerika Latin menjadi perebutan penjajah Eropa, hingga mengakibatkan Amerika Latin bergantung pada ekonomi kapitalis global pasca kemerdekaan. Selain Eropa, Amerika Serikat juga cukup berpengaruh dalam situasi di Amerika Latin, salah satunya lewat Doktrin Monroe 1823 yang menyatakan bahwa wilayah benua Amerika yang merdeka telah bebas dan tidak lagi dianggap sebagai subjek kolonialisasi Eropa, sehingga AS akan turun tangan apabila negara-negara Eropa masih berusaha menjajah dan menaklukan wilayah di benua Amerika yang telah merdeka (Hennida, 2012:50).
Pada awal abad 19, AS mulai memperkuat pengaruhnya dan mengokupasi beberapa wilayah di Amerika Latin, didukung oleh dominasi AS pada masa Perang Dunia I. Kemudian antara tahun 1919 dan 1923 berdirilah kelompok komunis pertama di Amerika Latin, hal ini disebabkan oleh Komunis Internasional yang mulai menyebarkan pengaruhnya terutama pada wilayah-wilayah yang menunjukkan sedikit minat pada imperialisme (Bao & Ortega, 2008:9). Masuknya pengaruh komunis ini telah melahirkan Liga Antiimperialista de las Americas atau LADLA pada tahun 1925. Pada tahun 1930an fasisme mulai menyebar sehingga demokrasi di Amerika Latin mulai pudar, hal ini mendorong terjadinya gerakan otoritarian (Hennida, 2012:52). Namun hal ini tidak bertahan lama, pasca Perang Dunia II, AS yang muncul sebagai pemenangnya kembali berhasil merebut pengaruhnya di Amerika Latin. Akibatnya komunisme di Amerika Latin mulai memudar akibat adanya Containment Policy yang dikobarkan AS, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya sistem Pan American pada 1947, Organization of American States pada 1948, dan pembentukan kerjasama militer dengan berbagai negara di Amerika Latin (Hennida, 2012:52). Pada abad ke-20 muncul substansi dan pengaruh besar dari tradisi geopolitik di Amerika Latin. Pada tahun 1960an mulai diberlakukan kekuasaan militer dalam waktu yang lama, seperti di Brasil dari tahun 1964 hingga akhir 1980-an, di Argentina setelah 1966 dan lagi 1976-1982, dan di Chili 1973-1990 (Hepple, 2004:360). Ideologi geopolitik memiliki dampak yang cukup besar selama kekuasaan ini dijalankan dan individu geopolitikan menjadi tokoh utama dalam pemerintahan.
Sejarah politik dan hubungan internasional Amerika Latin telah membentuk popularitas geopolitik wilayah tersebut. Munculnya negara merdeka dari Spanyol dan Portugis meninggalkan permasalahan batas dan klaim yang seringkali terjadi di beberapa wilayah (Hepple, 2004:360). Hepple (2004) memperjelas pernyataan do atas dengan teori Mackinder dalam The geographical pivot of history yang memiliki relevansi dengan geopolitik Amerika bagian selatan ini. Mackinder berasumsi bahwa Amerika Selatan adalah bagian dari lingkup AS di bawah Doktrin Monroe, oleh karena itu bisa saja Jerman pada Perang Dunia I dan II lebih mengutamakan untuk menguasai wilayah ini daripada menguasai wilayah heartland ataupun pivot (Hepple, 2004:361). Namun pada kenyataannya Amerika Selatan tidak pernah berperan lebih aktif dalam dunia geopolitik. Muncullah Tambs dengan “new heartland theory” yang menyatakan bahwa teori Mackinder memang memiliki relevansi langsung pada Amerika Latin dan konsep daerah heartland serta pivot dapat diterapkan di sana. Ia juga mengatakan bahwa Amerika Latin memiliki dua zona strategis, yaitu cekungan Karibia dan segitiga Bolivia (Hepple, 2004:361). Hal ini disebabkan oleh adanya pegunungan Andes dan sungai Amazon yang dapat mengisolasi negara di dalamnya dari kompetisi negara luar.

2.2 Dinamika Politik di Amerika Latin Pasca PD II
Dalam dua abad terakhir Amerika Latin mengalami banyak perubahan dalam berbagai bidang, yang secara umum mengikuti pola-pola kehidupan barat. Mulai dari perubahan status dari sebuah negara kolonial menjadi negara yang merdeka, dari sistem pemerintahan yang anarkis menjadi demokratis, dari perekonomian agrikultur dan pertambangan menjadi industrial, dari pemukiman pedesaan menjadi perkotaan, dari budaya tradisional menjadi lebih beraneka ragam, serta dari masyarakat yang sederhana menjadi sebuah masyarakat yang lebih kompleks (Conniff, 2005:88). Perubahan tersebut kemudian memberikan dampak yang cukup berpengaruh pada masyarakatnya yang beragam, mengingat mereka sudah cukup terbiasa dengan segala struktur yang ada selama beberapa lama. Situasi domestik yang sudah ada untuk beberapa lama disertai dengan adanya tekanan dari luar, kondisi geografis, siklus ekonomi yang cukup luas, dan banyak faktor lain membuat mereka lambat laun berevolusi.
Revolusi sistem pemerintahan negara-negara di kawasan Amerika Latin diawali dari gerakan-gerakan yang dilakukan para generasi muda di jaman revolusioner masing-masing. Proses revolusi tersebut terjadi terus menerus, bahkan hingga sekarang, mengingat secara historis masyarakat di kawasan tersebut tidak dibekali kemampuan oleh bangsa penjajahnya untuk mengelola dan mengatur suatu negara dengan baik dan benar. Sehingga, dapat dikatakan adalah sebuah “dosa” dari para kaum penjajah yang mengakibatkan negara-negara di kawasan tersebut tidak memiliki sistem pemerintahan yang baik dan kuat (www.historyworld.net).
Kaum revolusioner pertama ini membuat gerakan revolusi dan berjuang melawan peraturan-peraturan Eropa yang diberlakukan disana, yang memberikan status kemiskinan akibat kolonialisme. Generasi ini berasal dari pemuda pejuang kemerdekaan, yang pada dasarnya telah mendapatkan bekal pendidikan yang baik, sehingga mereka cukup memahami apa yang perlu dikeluhkan dari otoritas kolonial serta monarki jarak jauh yang mengatur kehidupan mereka. Mereka adalah Antonio Nariño dari Colombia, Tiradentes dari Brasil, Fransisco Miranda dari Venezuela, dan Toussaint L'Ouverture, seorang pangeran Afrika yang menumbangkan Perancis di Haiti, yang merupakan beberapa revolusioner awal dari kaum pemuda yang rela berkorban demi mencapai kemerdekaan negerinya (Conniff, 2005:89).
Generasi selanjutnya yaitu generasi yang tumbuh dari para pahlawan kemerdekaan. Generasi ini berisi mereka-mereka yang sukses menjatuhkan rezim penjajahan di negeri mereka masing-masing. Pada dasarnya, orang-orang dari generasi ini lahir dan tumbuh pada masa Pencerahan, sehingga ide dan pemikiran Pencerahan mempengaruhi pola pikir dan perilaku mereka. Mereka pada umumnya berasal dari keluarga yang kaya raya, namun tidak memiliki ambisi untuk memperkaya diri lagi, melainkan hanya untuk memikirkan kemajuan rakyat. Contoh dari generasi ini adalah Simón Bolívar, yang dikenal sebagai bapak liberator Amerika Selatan, José de San Martín yang membantu menendang bangsa Spanyol dari Argentina, Chile, dan Peru, serta Bernardo O’Higgins, dari Chile (Conniff, 2005:89).
Perjuangan menuju kemerdekaan di Amerika Latin bertepatan dengan depresi ekonomi yang terjadi secara massif di Eropa (Conniff, 2005:90). Hal ini dikarenakan Perancis pada masa itu melakukan invasi ke seluruh Eropa, dan membuat Spanyol, sebagai bangsa penjajah dari beberapa wilayah Amerika Latin, mengalami kehancuran ekonomi (Gates, 2001). Kondisi tersebut membuat Spanyol kehilangan beberapa kontrol di kawasan Amerika Latin dan beberapa kawasan di Amerika Latin juga tidak dapat menggantungkan nasibnya kepada Eropa. Oleh karena itu, setelah merdeka, banyak dari negara-negara “muda” di Amerika Latin yang mengalami kegagalan, terutama di bidang ekonomi. Periode ini memunjulkan generasi pemimpin ketiga yang disebut dengan Caudillos. Caudillos merupakan orang-orang yang menonjol dalam suatu komunitas, yang sering kali berasal dari para pemimpin pasukan, sehingga para caudillos memiliki keahlian dalam hal memimpin. Otoritas yang dimilikinya berasal dari kualitas kepribadian yang adil, intelejen, dan bersahaja. Pasukannya bahkan lebih mematuhinya daripada hukum yang berlaku. Munculnya caudillos sebagai ujung tombak dalam revolusi di negara-negara di kawasan Amerika Latin dapat memiliki dua arti. Pertama, munculnya caudillos sebagai indikasi bahwa konstelasi perpolitikan di sana chaos. Hal ini dikarenakan caudillos akan memberontak dan bahkan melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Kedua, kemunculan mereka dapat berarti sebagai sebuah solusi sementara, mengingat caudillos muncul lantaran ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan yang ada, sehingga dirasakan perlu bagi mereka untuk melakukan perlawanan terhadapnya (www.historyworld.net).
Kemunculan caudillos sering mendapat citra yang kurang baik dari dunia luar. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka berhasil membawa negaranya menghindari peperangan, mengurangi kriminalitas, dan menyediakan aktivitas ekonomi yang layak bagi masyarakatnya (Conniff, 2005:90). Contoh dari para caudillos ini adalah José Antonio de Santa Anna dari Meksiko, Juan Manuel de Rosas dari Argentina, Diego Portales dari Chile, dan José Antonio Páez dari Venezuela.
Generasi pemimpin ketiga mucul di pertengahan abad ke 19. Generasi ini muncul karena terinspirasi gerakan liberalism yang ada di Eropa. Mereka membawa nilai-nilai baru di kawasan ini, seperti menghargai kebebasan dan menjamin kesetaraan pada masyarakat, tanpa memandang gender, dan menghilangkan keistimewaan institusi-institusi tertentu seperti militer, gereja, maupun pemilik tanah. Mereka juga mulai membuka diri pada investasi asing demi pembangunan dalam negeri. Pembangunan baik dalam infrastruktur maupun perekonomian membuat abad ke-19 disebut sebagai era ekonomi ekspor. Namun ironis, meskipun perekonomian nasional meningkat, masyarakat tetap menderita. Pemimpin-pemimpin muda tersebut antara lain Emperor Pedro II of Brazil, Benito Juarez of Mexico, and Bartolomé Mitre of Argentina. Generasi yang muncul setelahnya adalah Justo Rufino Barrios of Guatemala, Julio Roca of rgentina, Porfirio Diaz of Mexico, and Antonio Guzman Blanco of Venezuela.
Generasi ketiga pemimpin Amerika Latin ini memberikan kemajuan di bidang ekonomi, namun tidak pada tingkat kesejahteraan warganya. Hal ini dikarenakan segala bentuk perubahan yang terjadi, seperti pengembangan ekspor dan pembukaan investasi asing, justru malah membuat masyarakat semakin menderita (Conniff, 2005:90). Hanya mereka yang memiliki kapital saja yang mampu menikmati peningkatan ekonomi yang terjadi pada waktu itu. Sementara itu hal yang berlawanan justru terjadi di Karibia. Generasi diktator muncul. Kepemimpinan hanya dijalankan berdasarkan kerakusan dan pemuasan diri sendiri. Dilindungi oleh kekuatan militer yang korup, kedikatoran membuat pemerintah hanya cenderung berfokus bisnis tanpa memedulikan kesejahteraan rakyatnya (Conniff, 2005:91).
Yang menarik adalah bahwa terdapat beberapa pemimpin di Karibia, yang memimpin dengan gaya diktator, mendapatkan dukungan dari pihak Amerika Serikat (AS). Hal ini dilatarbelakangi oleh ketidakstabilan di kawasan tersebut, yang menimbulkan kemungkinan akan kembali masuknya pengaruh bangsa Eropa ke wilayah tersebut. Kemungkinan tersebut direspon oleh AS dengan menerapkan Monroe Doctrine, yang kemudian dilanjutkan dengan Good Neighbor Policy oleh presiden F.D. Roosevelt. Melalui Monroe Doctrine, AS ingin menjauhkan pengaruh imperialisme Eropa sekaligus menciptakan kawasan bisnis yang sehat bagi seluruh negara di benua Amerika. Kebijakan luar negeri ini menimbulkan AS menjalin hubungan baik dengan beberapa diktator di Karibia, seperti Anastasio Somoza García di Nikaragua, Fulgencio Batista y Zaldívar di Kuba, dan Rafael Trujillo di Republik Dominika.
Fenomena tren kepemimpinan berubah pasca Perang Dunia II, dimana pemikiran mengenai nilai-nilai kerakyatan mulai muncul di kawasan Amerika Latin. Para pemimpin pertengahan abad ke-20 ini dikenal sangat mengayomi masyarakatnya. Mereka dikenal dengan the classic populists, yang memposisikan diri sebagai manusia, protectors of the poor, defenders of the nation, and enemies of traditional corrupt politicians (Conniff, 2005:92). Tokoh paling tepat untuk menggambarkannya adalah Juan dan Evita Perón dari Argentina, Getúlio Vargas dari Brasil, Jose Maria Vaelasco Ibarra dari Ekuador, dan Rómulo Betancourt dari Venezuela. Para pemimpin baik ini menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi pekerja dan petani, hak pilih bagi wanita, kemakmuran bagi pemilik bisnis, dan lain sebagainya.
Kemunculan classic populist juga terjadi di kawasan Karibia. Diktator yang memimpin di beberapa negara di kawasan tersebut mendapat perlawanan yang serius dari beberapa tokoh, seperti José Daniel Ortega Saavedra di Nikaragua, Fidel Castro dan Ernesto “Che” Guevara di Kuba. Tokoh-tokoh tersebut berjuang mengatasnamakan rakyat, yang pada dasarnya sudah merasa muak akan pemerintahan yang diktator yang ada di negara masing-masing. Fidel Castro sukses menggulingkan rezim Batista dan menjadi presiden Kuba di tahun 1965 melalui perang, sedangkan Daniel Ortega baru berhasil menjadi presiden Nikaragua di tahun 2006. Hal ini dikarenakan Daniel Ortega kalah dalam pemilu yang diadakan di Nikaragua setelah rezim Anastasio Somoza Debayle, anak dari Anastasio Somoza García, digulingkan.
Keberhasilan revolusi di Kuba membuat pihak AS murka. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, Batista merupakan orang yang pro terhadap kepentingan AS. Kedua, Castro melakukan nasionalisasi terhadap beberapa korporasi atau perusahaan AS di sana. Dan ketiga Castro berideologi Marxisme, yang bertolakbelakang dengan ideologi Liberalisme AS (Coltman, 2003). Alasan-alasan inilah yang dapat dijadikan sebagai jawaban kenapa AS menerapkan “hukuman” berupa embargo ekonomi dan isolasi diplomasi terhadap Kuba.
Tahun 1990-an, muncul generasi baru dalam kepemimpinan di kawasan Amerika Latin, yang disebut generasi neo-populist. Perbedaan yang mendasar antara generasi ini dan generasi sebelumnya adalah neo-populistlebih mengarah pada neo-liberalisme, yang mengutamakan privatisasi ekonomi, kebijakan penurunan tarif, dan kebijakan pro bisnis lainnya, sementara classic populist lebih condong pada ideologi kiri. Tokoh pemimpin dari generasi ini adalah Fernando Collor de Melo di Brasil, Alberto Fujimori di Peru, dan Carlos Menem di Argentina.

2.3 Situasi Amerika Latin Pasca PD II
Situasi Amerika Latin pasca Perang Dunia II mendorong negeri Paman Sam untuk memperluas isu keamanan menjadi persoalan ekonomi dan sosial. Ada 2 kejadian penting di akhir decade 1950-an, yang memicu pemerintah AS untuk memperhatikan masalah tersebut.
Pertama, perjalanan Wakil Presiden Richard Nixon (kelak Presiden AS, 1969-1974) sepanjang Mei 1958 telah memicu kerusuhan terutama di Caracas, Venezuale dan Lima, Kuba. Kedua, Fidel Castro berhasil mengambialih kekuasaan pada Januari 1959, dan kemudian sejak 1960-an menggelorakan semangat anti AS dan cenderug condong ke Uni Soviet.
Program AS untuk mengendalikan situasi di Amerika Latin memang dianggap berbeda dengan desain Marshall Plan, yang merupakan bantuan keuangan besar-besaran untuk merekonstruksi Eropa pasca Perang Dunia 1945 sembari memastikan lumpuhnya peran militer Jerman. Untuk Amerika Latin, AS lebih banyak mendorong terjadinya investasi swasta dan perdagangan bebas sebagai kunci pengembangan sosial ekonomi di kawasan itu. Sekalipun desain itu tidak mengurangi rencana AS untuk memberikan bantuan keuangan langsung ke Amerika Latin, akan tetapi investasi dan perdagangan bebas berbenturan dengan kondisi ekonomi di kawasan itu.
Pada akhir 1950-an, Presiden Eisenhower semakin mencurahkan perhatian masalah Amerika Latin dalam isu sosial dan ekonomi. Pada sisi lain, negara-negara Amerika Latin bersemangat membentuk sebuah bank pembangunan regional. Tetapi, pada Agustus 1958, AS menolak gagasan itu dan pada 1960 merintis pemkbentukan Inter-American Development Bank.
Perubahan kebijakan AS itu diresmikan dalam konferensi di Bogota, Kolombia, pada September 1960 untuk mengembangkan gagasan kesatuan kerjasama ekonomi Amerika. Menyusul kebijakan ini, Presiden Eisenhower mengguyur hutang sebesar US$ 500 juta untuk pembangunan dan sosial ekonomi.
Pada pemilu 1960, kandidat Partai Demokrat, John F. Kennedy mencela kebijakan Presiden Eisenhower dan visi kandidat Partai Republik Richard Nixon soal “hilangnya kendali” atas Kuba dan keburukan kebijakan AS yang gagal membangun aliansi dengan Amerika Latin. Setelah memperoleh kemenangan tipis, Kennedy mengungkapkan gagasan “alliance for progress” antara AS dan Amerika Latin, yang diucapkan dalam pidato pelantikan. Pada Maret 1961, Kennedy secara formal memulai “Alliance for Progress” sebagai wadah untuk memberikan bantuan sosial ekonomi, reformasi structural, dan demokratisasi. Program itu diluncurkan pada saat konferensi di Punta del Este, Uruguay, Agustus 1961.
Konferensi tersebut menyerukan rencana aksi untuk melaksanakan program Kennedy itu yang mencakup demokratisasi, percepatan pembangunan sosial ekonomi, pengembangan pendidikan, perbaikan upah dan syarat-syarat kerja, program kesehatan, reformasi pajak, reformasi agrarian, stabilitas fiscal, dan stimulant untuk usaha swasta. Keseluruhan rencana aksi itu membutuhkan dana sebesar US $ 500 miliar untuk sepuluh tahun pertama. Akan diusahakan sumber pembiayaan eksternal sebesar US $ 20 miliar, sementara AS akan menutup sebagian besar sisanya. Sebanyak US $ 80 miliar diharapkan akan terkumpul dari iuran negara-negara Amerika Latin. Washington begitu bersemangat untuk melaksanakan program ini untuk mencegah pengaruh komunisme dan menyerukan perdamaian, sembari menolak terjadinya revolusi sosial dan pembentukan “Kuba-Kuba” lain di kawasan ini.
Namun program itu tersendat-sendat akibat tekanan ekonomi dan politik baik dalam lingkup domestic maupun internasional di Amerika Latin dan AS. Memang program itu berhasil menekan para elit Amerika Latin untuk melakukan kekerasan, tetapi mereka tidak pernah serius melaksanakan bermacam-macam rencana aksi, karena hasilnya justru bisa menjadi boomerang terhadap kekuasaan mereka.
Karena Amerika Latin telah memiliki pengalaman panjang dengan instabilitas politik, pemerintah AS menghindari untuk memberikan tekanan lebih keras terhadap rencana aksi yang telah disusun, karena dikhawatirkan justru akan menambah keburukan politik di kawasan itu.
Sekalipun tercapai sedikit hasil yang tidak mencakup reformasi structural, para elit tradisional memetik keuntungan dari pertambahan pertumbuhan. Mayoritas dana dari program AS itu digunakan untuk membayar hutang yang dibuat sebelumnya daripada menjalankan rencana aksi. Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat di Amerika Latin juga menyangsikan keberhasilan reformasi ekonomi dan sosial.
Situasi politik domestic AS turut mempengaruhi pelaksanaan program itu. Terbunuhnya Kennedy pada tahun 1963 menyebabkan pejabat pemerintah enggan meneruskan program-program tersebut. Program itu menghendaki ketersediaan anggaran berkelanjutan, akan tetapi Kongres menganggap Presiden gagal memberikan jaminan untuk keberhasilan jangka panjang.
Sejak pertengahan 1960-an, pengganti Kennedy, Lyndon Johnson, telah pelan-pelan mengurangi anggaran untuk program tersebut. Presiden Johnson lebih tertarik kepada persoalan isu domestic, sementara perhatian politik luar negeri terkuras untuk masalah Vietnam.
Akibatnya, desain awal untuk memajukan Amerika Latin dari pelaksanaan program itu kemudian menjadi tersendat-sendat. Pemerintah Amerika Latin umumnya enggan atau tidak bersedia untuk melaksanakan reformasi structural. Kongres pun akhirnya memangkas dukungan dana, yang dengan cepat membuat rencana aksi menjadi terpuruk. Sekalipun “Alliance for Progress” tak pernah resmi ditutup, pelan-pelan banyak rencana aksi yang gagal mencapai tujuannya. Sebagian karena pengaruh perang dingin dan lainnya karena tekanan politik domestic yang keras di Amerika Latin.









BAB III PENUTUP



3.1    Kesimpulan
Dinamika politik negara-negara Amerika Latin mengalami perkembangan yang unik, walaupun tujuan dan prioritas mereka tidak berubah. Perkembangan tersebut mengalami beberapa tahapan, yaitu pendalaman demokrasi, pluralitas dalam bentuk organisasi dan civil society, serta adanya peranan gereja yang pada abad 19 sempat mengalami penentangan.  Selain itu yang tak boleh dilupakan adalah globalisasi yang telah mendorong perubahan dalam pembuatan kebijakan baik yang berkaitan dengan domestik maupun luar negeri dalam ranah politik maupun ideologi.
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan politik di Amerika Latin lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar seperti Spanyol, Portugis dan Amerika Serikat, serta oleh munculnya teori-teori geopolitik seperti Mackinder dengan “Heartland Theory”. Teori geopolitik telah menyebabkan negara-negara Amerika Latin melakukan tindakan politik yang disesuaikan dengan kondisi geografis wilayahnya. Menurut penulis, tidak hanya kekuatan luar yang sebenarnya mempengaruhi dinamika politik di Amerika Latin. Hal ini juga didorong oleh gagalnya partai politik tradisional untuk memenuhi keinginan masyarakat. Dibuktikan oleh munculnya partai sayap kiri di Brazil yang berasal dari gerakan petani dan penduduk asli untuk menghadapi gagalnya partai Partido dos Trabalhadores yang muncul mewakili rakyat buruh untuk memenuhi janji kampanye pemilunya.






DAFTAR PUSTAKA


Francis Whitney, ed.Keith W. Olsen. 2004. Garis Besar Sejarah Amerika. Washington DC: Departemen Luar Negeri
Sundoro, M. H. 2012. Sejarah Amerika Serikat. Jember: Jember University Press
id.wikipedia.org, diakses 20 Mei 2014 pukul 22:58





Comments

Popular posts from this blog

Migrasi dan Penyebaran Ras Negrito dan Weddid ke Indonesia

Keunikan Masyarakat Jawa Timur

Indo-China, Zaman Kuna hingga Merdeka