Amerika Latin Pasca Perang Dunia 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perang Dunia
II meletus pada 1 September 1939,
dan Amerika Serikat menyatakan mereka tidak ingin terlibat. Sebagian besar
warga Amerika merasa AS sebaiknya tetap netral. Jepang mengebom Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Akibatnya, Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Blok Poros (Jerman, Jepang, dan Italia). Amerika Serikat terlibat dalam
dua front, yaitu Front Pasifik melawan Jepang, dan Front Eropadan Afrika melawan Jerman dan Italia.
Keterlibatan
amerika serikat dalam perang dunia II, masyarakat pada saat itu Amerika sedang
cemas mengamati jalannya perang di Eropa, ketegangan semakin meningkat di Asia.
Setelah mengambil kesempatan untuk memperbaiki posisi strategi nya, Jepang
dengan percaya dirinya menyatakan bahawa mereka akan berkuasa di seluruh
daratan Pasifik. Negara dengan cepat melakukan mobilisasi rakyat dan seluruh
kapasitas industrinya. Pada tanggal 6 Januari 1942, Presiden Roosevelt
mengumumkan target produksi yang mengejutkan. Tahun itu ditargetkan harus
selesai 60.000 pesawat, 45.000 tank, 20.000 meriam antipesawat, dan 18 juta ton
pengiriman niaga.seluruh kegiatan nasional yang meliputi pertanian, manufaktur,
pertambangan, perdagangan, tenaga kerja, investasi, komunikasi, bahkan
pendidikan dan kegiatan budaya berlangsung di bawah pengawasan baru yang
menyeluruh.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
dapat dirumuskan rumusan masalahnya sebagai berikut:
- Bagaimana gambaran dan kondisi
Amerika Latin?
- Bagaimana dinamika politik
Amerika Latin pasca Perang Dunia II?
- Bagaimana Situasi Amerika Latin pasca Perang
Dunia II?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas,
dapat dikemukakan tujuannya adalah sebagai berikut:
- Mengetahui gambaran dan kondisi
Amerika Latin
- Mengetahui dinamika politik
Amerika Latin pasca Perang Dunia II
- Mengetahui Situasi Amerika Latin pasca Perang
Dunia II
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Gambaran
dan Kondisi Amerika Latin
Amerika
Latin adalah wilayah yang banyak didatangi oleh para penjajah karena memiliki
banyak sumber daya alam, oleh karena itu sejarah perpolitikannya banyak
diwarnai oleh negara-negara di luarnya. Pada abad ke-16 Spanyol dan Portugis
menguasai wilayah Amerika Latin dengan kekerasan dan penaklukan yang sejalan
dengan politik merkantilis pada masa itu (Hennida, 2012:47). Pada abad 17
hingga 18 wilayah di Amerika Latin menjadi perebutan penjajah Eropa, hingga
mengakibatkan Amerika Latin bergantung pada ekonomi kapitalis global pasca
kemerdekaan. Selain Eropa, Amerika Serikat juga cukup berpengaruh dalam situasi
di Amerika Latin, salah satunya lewat Doktrin Monroe 1823 yang menyatakan bahwa
wilayah benua Amerika yang merdeka telah bebas dan tidak lagi dianggap sebagai
subjek kolonialisasi Eropa, sehingga AS akan turun tangan apabila negara-negara
Eropa masih berusaha menjajah dan menaklukan wilayah di benua Amerika yang
telah merdeka (Hennida, 2012:50).
Pada
awal abad 19, AS mulai memperkuat pengaruhnya dan mengokupasi beberapa wilayah
di Amerika Latin, didukung oleh dominasi AS pada masa Perang Dunia I. Kemudian
antara tahun 1919 dan 1923 berdirilah kelompok komunis pertama di Amerika
Latin, hal ini disebabkan oleh Komunis Internasional yang mulai menyebarkan
pengaruhnya terutama pada wilayah-wilayah yang menunjukkan sedikit minat pada
imperialisme (Bao & Ortega, 2008:9). Masuknya pengaruh komunis ini telah
melahirkan Liga Antiimperialista de las Americas atau LADLA pada tahun
1925. Pada tahun 1930an fasisme mulai menyebar sehingga demokrasi di Amerika
Latin mulai pudar, hal ini mendorong terjadinya gerakan otoritarian (Hennida,
2012:52). Namun hal ini tidak bertahan lama, pasca Perang Dunia II, AS yang
muncul sebagai pemenangnya kembali berhasil merebut pengaruhnya di Amerika
Latin. Akibatnya komunisme di Amerika Latin mulai memudar akibat adanya Containment
Policy yang dikobarkan AS, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya sistem
Pan American pada 1947, Organization of American States pada 1948, dan
pembentukan kerjasama militer dengan berbagai negara di Amerika Latin (Hennida,
2012:52). Pada abad ke-20 muncul substansi dan pengaruh besar dari tradisi
geopolitik di Amerika Latin. Pada tahun 1960an mulai diberlakukan kekuasaan militer
dalam waktu yang lama, seperti di Brasil dari tahun 1964 hingga akhir 1980-an,
di Argentina setelah 1966 dan lagi 1976-1982, dan di Chili 1973-1990 (Hepple,
2004:360). Ideologi geopolitik memiliki dampak yang cukup besar selama
kekuasaan ini dijalankan dan individu geopolitikan menjadi tokoh utama dalam
pemerintahan.
Sejarah politik dan hubungan
internasional Amerika Latin telah membentuk popularitas geopolitik wilayah
tersebut. Munculnya negara merdeka dari Spanyol dan Portugis meninggalkan
permasalahan batas dan klaim yang seringkali terjadi di beberapa wilayah
(Hepple, 2004:360). Hepple (2004) memperjelas pernyataan do atas dengan teori
Mackinder dalam The geographical pivot of history yang memiliki
relevansi dengan geopolitik Amerika bagian selatan ini. Mackinder berasumsi
bahwa Amerika Selatan adalah bagian dari lingkup AS di bawah Doktrin Monroe,
oleh karena itu bisa saja Jerman pada Perang Dunia I dan II lebih mengutamakan
untuk menguasai wilayah ini daripada menguasai wilayah heartland
ataupun pivot (Hepple, 2004:361). Namun pada kenyataannya Amerika Selatan tidak
pernah berperan lebih aktif dalam dunia geopolitik. Muncullah Tambs dengan “new
heartland theory” yang menyatakan bahwa teori Mackinder memang memiliki
relevansi langsung pada Amerika Latin dan konsep daerah heartland
serta pivot dapat diterapkan di sana. Ia juga mengatakan bahwa Amerika Latin
memiliki dua zona strategis, yaitu cekungan Karibia dan segitiga Bolivia
(Hepple, 2004:361). Hal ini disebabkan oleh adanya pegunungan Andes dan sungai
Amazon yang dapat mengisolasi negara di dalamnya dari kompetisi negara luar.
2.2 Dinamika
Politik di Amerika Latin Pasca PD II
Dalam dua abad terakhir Amerika Latin mengalami banyak
perubahan dalam berbagai bidang, yang secara umum mengikuti pola-pola kehidupan
barat. Mulai dari perubahan status dari sebuah negara kolonial menjadi negara
yang merdeka, dari sistem pemerintahan yang anarkis menjadi demokratis, dari
perekonomian agrikultur dan pertambangan menjadi industrial, dari pemukiman
pedesaan menjadi perkotaan, dari budaya tradisional menjadi lebih beraneka
ragam, serta dari masyarakat yang sederhana menjadi sebuah masyarakat yang
lebih kompleks (Conniff, 2005:88). Perubahan tersebut kemudian memberikan
dampak yang cukup berpengaruh pada masyarakatnya yang beragam, mengingat mereka
sudah cukup terbiasa dengan segala struktur yang ada selama beberapa lama.
Situasi domestik yang sudah ada untuk beberapa lama disertai dengan adanya
tekanan dari luar, kondisi geografis, siklus ekonomi yang cukup luas, dan
banyak faktor lain membuat mereka lambat laun berevolusi.
Revolusi sistem pemerintahan negara-negara di kawasan
Amerika Latin diawali dari gerakan-gerakan yang dilakukan para generasi muda di
jaman revolusioner masing-masing. Proses revolusi tersebut terjadi terus
menerus, bahkan hingga sekarang, mengingat secara historis masyarakat di
kawasan tersebut tidak dibekali kemampuan oleh bangsa penjajahnya untuk
mengelola dan mengatur suatu negara dengan baik dan benar. Sehingga, dapat
dikatakan adalah sebuah “dosa” dari para kaum penjajah yang mengakibatkan
negara-negara di kawasan tersebut tidak memiliki sistem pemerintahan yang baik
dan kuat (www.historyworld.net).
Kaum revolusioner pertama ini membuat gerakan revolusi
dan berjuang melawan peraturan-peraturan Eropa yang diberlakukan disana, yang
memberikan status kemiskinan akibat kolonialisme. Generasi ini berasal dari
pemuda pejuang kemerdekaan, yang pada dasarnya telah mendapatkan bekal
pendidikan yang baik, sehingga mereka cukup memahami apa yang perlu dikeluhkan
dari otoritas kolonial serta monarki jarak jauh yang mengatur kehidupan mereka.
Mereka adalah Antonio Nariño dari Colombia, Tiradentes dari Brasil, Fransisco
Miranda dari Venezuela, dan Toussaint L'Ouverture, seorang pangeran Afrika yang
menumbangkan Perancis di Haiti, yang merupakan beberapa revolusioner awal dari
kaum pemuda yang rela berkorban demi mencapai kemerdekaan negerinya (Conniff,
2005:89).
Generasi selanjutnya yaitu generasi yang tumbuh dari
para pahlawan kemerdekaan. Generasi ini berisi mereka-mereka yang sukses
menjatuhkan rezim penjajahan di negeri mereka masing-masing. Pada dasarnya,
orang-orang dari generasi ini lahir dan tumbuh pada masa Pencerahan, sehingga
ide dan pemikiran Pencerahan mempengaruhi pola pikir dan perilaku mereka.
Mereka pada umumnya berasal dari keluarga yang kaya raya, namun tidak memiliki
ambisi untuk memperkaya diri lagi, melainkan hanya untuk memikirkan kemajuan
rakyat. Contoh dari generasi ini adalah Simón Bolívar, yang dikenal sebagai
bapak liberator Amerika Selatan, José de San Martín yang membantu menendang
bangsa Spanyol dari Argentina, Chile, dan Peru, serta Bernardo O’Higgins, dari
Chile (Conniff, 2005:89).
Perjuangan menuju kemerdekaan di Amerika Latin
bertepatan dengan depresi ekonomi yang terjadi secara massif di Eropa (Conniff,
2005:90). Hal ini dikarenakan Perancis pada masa itu melakukan invasi ke
seluruh Eropa, dan membuat Spanyol, sebagai bangsa penjajah dari beberapa
wilayah Amerika Latin, mengalami kehancuran ekonomi (Gates, 2001). Kondisi tersebut
membuat Spanyol kehilangan beberapa kontrol di kawasan Amerika Latin dan
beberapa kawasan di Amerika Latin juga tidak dapat menggantungkan nasibnya
kepada Eropa. Oleh karena itu, setelah merdeka, banyak dari negara-negara
“muda” di Amerika Latin yang mengalami kegagalan, terutama di bidang ekonomi.
Periode ini memunjulkan generasi pemimpin ketiga yang disebut dengan Caudillos.
Caudillos merupakan orang-orang yang menonjol dalam suatu komunitas, yang
sering kali berasal dari para pemimpin pasukan, sehingga para caudillos
memiliki keahlian dalam hal memimpin. Otoritas yang dimilikinya berasal dari
kualitas kepribadian yang adil, intelejen, dan bersahaja. Pasukannya bahkan
lebih mematuhinya daripada hukum yang berlaku. Munculnya caudillos sebagai
ujung tombak dalam revolusi di negara-negara di kawasan Amerika Latin dapat
memiliki dua arti. Pertama, munculnya caudillos sebagai indikasi bahwa
konstelasi perpolitikan di sana chaos. Hal ini dikarenakan caudillos akan
memberontak dan bahkan melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sedang
berkuasa. Kedua, kemunculan mereka dapat berarti sebagai sebuah solusi
sementara, mengingat caudillos muncul lantaran ketidakpuasan masyarakat
terhadap pemerintahan yang ada, sehingga dirasakan perlu bagi mereka untuk
melakukan perlawanan terhadapnya (www.historyworld.net).
Kemunculan caudillos sering mendapat citra yang kurang
baik dari dunia luar. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka berhasil
membawa negaranya menghindari peperangan, mengurangi kriminalitas, dan
menyediakan aktivitas ekonomi yang layak bagi masyarakatnya (Conniff, 2005:90).
Contoh dari para caudillos ini adalah José Antonio de Santa Anna dari Meksiko,
Juan Manuel de Rosas dari Argentina, Diego Portales dari Chile, dan José
Antonio Páez dari Venezuela.
Generasi pemimpin ketiga mucul di pertengahan abad ke
19. Generasi ini muncul karena terinspirasi gerakan liberalism yang ada di
Eropa. Mereka membawa nilai-nilai baru di kawasan ini, seperti menghargai
kebebasan dan menjamin kesetaraan pada masyarakat, tanpa memandang gender, dan
menghilangkan keistimewaan institusi-institusi tertentu seperti militer,
gereja, maupun pemilik tanah. Mereka juga mulai membuka diri pada investasi
asing demi pembangunan dalam negeri. Pembangunan baik dalam infrastruktur
maupun perekonomian membuat abad ke-19 disebut sebagai era ekonomi ekspor.
Namun ironis, meskipun perekonomian nasional meningkat, masyarakat tetap
menderita. Pemimpin-pemimpin muda tersebut antara lain Emperor Pedro II of
Brazil, Benito Juarez of Mexico, and Bartolomé Mitre of Argentina. Generasi
yang muncul setelahnya adalah Justo Rufino Barrios of Guatemala, Julio Roca of
rgentina, Porfirio Diaz of Mexico, and Antonio Guzman Blanco of Venezuela.
Generasi ketiga pemimpin Amerika Latin ini memberikan
kemajuan di bidang ekonomi, namun tidak pada tingkat kesejahteraan warganya.
Hal ini dikarenakan segala bentuk perubahan yang terjadi, seperti pengembangan
ekspor dan pembukaan investasi asing, justru malah membuat masyarakat semakin
menderita (Conniff, 2005:90). Hanya mereka yang memiliki kapital saja yang
mampu menikmati peningkatan ekonomi yang terjadi pada waktu itu. Sementara itu
hal yang berlawanan justru terjadi di Karibia. Generasi diktator muncul.
Kepemimpinan hanya dijalankan berdasarkan kerakusan dan pemuasan diri sendiri.
Dilindungi oleh kekuatan militer yang korup, kedikatoran membuat pemerintah
hanya cenderung berfokus bisnis tanpa memedulikan kesejahteraan rakyatnya
(Conniff, 2005:91).
Yang menarik adalah bahwa terdapat beberapa pemimpin
di Karibia, yang memimpin dengan gaya diktator, mendapatkan dukungan dari pihak
Amerika Serikat (AS). Hal ini dilatarbelakangi oleh ketidakstabilan di kawasan
tersebut, yang menimbulkan kemungkinan akan kembali masuknya pengaruh bangsa
Eropa ke wilayah tersebut. Kemungkinan tersebut direspon oleh AS dengan
menerapkan Monroe Doctrine, yang kemudian dilanjutkan dengan Good Neighbor
Policy oleh presiden F.D. Roosevelt. Melalui Monroe Doctrine, AS ingin
menjauhkan pengaruh imperialisme Eropa sekaligus menciptakan kawasan bisnis yang
sehat bagi seluruh negara di benua Amerika. Kebijakan luar negeri ini
menimbulkan AS menjalin hubungan baik dengan beberapa diktator di Karibia,
seperti Anastasio Somoza García di Nikaragua, Fulgencio Batista y Zaldívar di
Kuba, dan Rafael Trujillo di Republik Dominika.
Fenomena tren kepemimpinan berubah pasca Perang Dunia
II, dimana pemikiran mengenai nilai-nilai kerakyatan mulai muncul di kawasan
Amerika Latin. Para pemimpin pertengahan abad ke-20 ini dikenal sangat
mengayomi masyarakatnya. Mereka dikenal dengan the classic populists, yang
memposisikan diri sebagai manusia, protectors of the poor, defenders of the
nation, and enemies of traditional corrupt politicians (Conniff, 2005:92).
Tokoh paling tepat untuk menggambarkannya adalah Juan dan Evita Perón dari
Argentina, Getúlio Vargas dari Brasil, Jose Maria Vaelasco Ibarra dari Ekuador,
dan Rómulo Betancourt dari Venezuela. Para pemimpin baik ini menjanjikan
kehidupan yang lebih baik bagi pekerja dan petani, hak pilih bagi wanita,
kemakmuran bagi pemilik bisnis, dan lain sebagainya.
Kemunculan classic populist juga terjadi di kawasan
Karibia. Diktator yang memimpin di beberapa negara di kawasan tersebut mendapat
perlawanan yang serius dari beberapa tokoh, seperti José Daniel Ortega Saavedra
di Nikaragua, Fidel Castro dan Ernesto “Che” Guevara di Kuba. Tokoh-tokoh
tersebut berjuang mengatasnamakan rakyat, yang pada dasarnya sudah merasa muak
akan pemerintahan yang diktator yang ada di negara masing-masing. Fidel Castro
sukses menggulingkan rezim Batista dan menjadi presiden Kuba di tahun 1965
melalui perang, sedangkan Daniel Ortega baru berhasil menjadi presiden
Nikaragua di tahun 2006. Hal ini dikarenakan Daniel Ortega kalah dalam pemilu
yang diadakan di Nikaragua setelah rezim Anastasio Somoza Debayle, anak dari
Anastasio Somoza García, digulingkan.
Keberhasilan revolusi di Kuba membuat pihak AS murka.
Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, Batista merupakan orang yang pro
terhadap kepentingan AS. Kedua, Castro melakukan nasionalisasi terhadap
beberapa korporasi atau perusahaan AS di sana. Dan ketiga Castro berideologi
Marxisme, yang bertolakbelakang dengan ideologi Liberalisme AS (Coltman, 2003).
Alasan-alasan inilah yang dapat dijadikan sebagai jawaban kenapa AS menerapkan
“hukuman” berupa embargo ekonomi dan isolasi diplomasi terhadap Kuba.
Tahun 1990-an, muncul generasi baru dalam kepemimpinan
di kawasan Amerika Latin, yang disebut generasi neo-populist. Perbedaan yang
mendasar antara generasi ini dan generasi sebelumnya adalah neo-populistlebih
mengarah pada neo-liberalisme, yang mengutamakan privatisasi ekonomi, kebijakan
penurunan tarif, dan kebijakan pro bisnis lainnya, sementara classic populist
lebih condong pada ideologi kiri. Tokoh pemimpin dari generasi ini adalah
Fernando Collor de Melo di Brasil, Alberto Fujimori di Peru, dan Carlos Menem
di Argentina.
2.3 Situasi
Amerika Latin Pasca PD II
Situasi Amerika
Latin pasca Perang Dunia II mendorong negeri Paman Sam untuk memperluas isu
keamanan menjadi persoalan ekonomi dan sosial. Ada 2 kejadian penting di akhir
decade 1950-an, yang memicu pemerintah AS untuk memperhatikan masalah tersebut.
Pertama,
perjalanan Wakil Presiden Richard Nixon (kelak Presiden AS, 1969-1974)
sepanjang Mei 1958 telah memicu kerusuhan terutama di Caracas, Venezuale dan Lima,
Kuba. Kedua, Fidel Castro berhasil mengambialih kekuasaan pada Januari 1959,
dan kemudian sejak 1960-an menggelorakan semangat anti AS dan cenderug condong
ke Uni Soviet.
Program AS untuk
mengendalikan situasi di Amerika Latin memang dianggap berbeda dengan desain
Marshall Plan, yang merupakan bantuan keuangan besar-besaran untuk
merekonstruksi Eropa pasca Perang Dunia 1945 sembari memastikan lumpuhnya peran
militer Jerman. Untuk Amerika Latin, AS lebih banyak mendorong terjadinya
investasi swasta dan perdagangan bebas sebagai kunci pengembangan sosial
ekonomi di kawasan itu. Sekalipun desain itu tidak mengurangi rencana AS untuk
memberikan bantuan keuangan langsung ke Amerika Latin, akan tetapi investasi
dan perdagangan bebas berbenturan dengan kondisi ekonomi di kawasan itu.
Pada akhir
1950-an, Presiden Eisenhower semakin mencurahkan perhatian masalah Amerika
Latin dalam isu sosial dan ekonomi. Pada sisi lain, negara-negara Amerika Latin
bersemangat membentuk sebuah bank pembangunan regional. Tetapi, pada Agustus
1958, AS menolak gagasan itu dan pada 1960 merintis pemkbentukan Inter-American
Development Bank.
Perubahan
kebijakan AS itu diresmikan dalam konferensi di Bogota, Kolombia, pada
September 1960 untuk mengembangkan gagasan kesatuan kerjasama ekonomi Amerika.
Menyusul kebijakan ini, Presiden Eisenhower mengguyur hutang sebesar US$ 500
juta untuk pembangunan dan sosial ekonomi.
Pada pemilu
1960, kandidat Partai Demokrat, John F. Kennedy mencela kebijakan Presiden
Eisenhower dan visi kandidat Partai Republik Richard Nixon soal “hilangnya
kendali” atas Kuba dan keburukan kebijakan AS yang gagal membangun aliansi
dengan Amerika Latin. Setelah memperoleh kemenangan tipis, Kennedy
mengungkapkan gagasan “alliance for progress” antara AS dan Amerika Latin, yang
diucapkan dalam pidato pelantikan. Pada Maret 1961, Kennedy secara formal
memulai “Alliance for Progress” sebagai wadah untuk memberikan bantuan sosial
ekonomi, reformasi structural, dan demokratisasi. Program itu diluncurkan pada
saat konferensi di Punta del Este, Uruguay, Agustus 1961.
Konferensi
tersebut menyerukan rencana aksi untuk melaksanakan program Kennedy itu yang
mencakup demokratisasi, percepatan pembangunan sosial ekonomi, pengembangan
pendidikan, perbaikan upah dan syarat-syarat kerja, program kesehatan,
reformasi pajak, reformasi agrarian, stabilitas fiscal, dan stimulant untuk
usaha swasta. Keseluruhan rencana aksi itu membutuhkan dana sebesar US $ 500
miliar untuk sepuluh tahun pertama. Akan diusahakan sumber pembiayaan eksternal
sebesar US $ 20 miliar, sementara AS akan menutup sebagian besar sisanya.
Sebanyak US $ 80 miliar diharapkan akan terkumpul dari iuran negara-negara
Amerika Latin. Washington begitu bersemangat untuk melaksanakan program ini
untuk mencegah pengaruh komunisme dan menyerukan perdamaian, sembari menolak
terjadinya revolusi sosial dan pembentukan “Kuba-Kuba” lain di kawasan ini.
Namun program
itu tersendat-sendat akibat tekanan ekonomi dan politik baik dalam lingkup
domestic maupun internasional di Amerika Latin dan AS. Memang program itu
berhasil menekan para elit Amerika Latin untuk melakukan kekerasan, tetapi
mereka tidak pernah serius melaksanakan bermacam-macam rencana aksi, karena
hasilnya justru bisa menjadi boomerang terhadap kekuasaan mereka.
Karena Amerika Latin
telah memiliki pengalaman panjang dengan instabilitas politik, pemerintah AS
menghindari untuk memberikan tekanan lebih keras terhadap rencana aksi yang
telah disusun, karena dikhawatirkan justru akan menambah keburukan politik di
kawasan itu.
Sekalipun
tercapai sedikit hasil yang tidak mencakup reformasi structural, para elit
tradisional memetik keuntungan dari pertambahan pertumbuhan. Mayoritas dana
dari program AS itu digunakan untuk membayar hutang yang dibuat sebelumnya
daripada menjalankan rencana aksi. Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat di
Amerika Latin juga menyangsikan keberhasilan reformasi ekonomi dan sosial.
Situasi politik
domestic AS turut mempengaruhi pelaksanaan program itu. Terbunuhnya Kennedy
pada tahun 1963 menyebabkan pejabat pemerintah enggan meneruskan
program-program tersebut. Program itu menghendaki ketersediaan anggaran
berkelanjutan, akan tetapi Kongres menganggap Presiden gagal memberikan jaminan
untuk keberhasilan jangka panjang.
Sejak
pertengahan 1960-an, pengganti Kennedy, Lyndon Johnson, telah pelan-pelan
mengurangi anggaran untuk program tersebut. Presiden Johnson lebih tertarik
kepada persoalan isu domestic, sementara perhatian politik luar negeri terkuras
untuk masalah Vietnam.
Akibatnya,
desain awal untuk memajukan Amerika Latin dari pelaksanaan program itu kemudian
menjadi tersendat-sendat. Pemerintah Amerika Latin umumnya enggan atau tidak
bersedia untuk melaksanakan reformasi structural. Kongres pun akhirnya
memangkas dukungan dana, yang dengan cepat membuat rencana aksi menjadi
terpuruk. Sekalipun “Alliance for Progress” tak pernah resmi ditutup,
pelan-pelan banyak rencana aksi yang gagal mencapai tujuannya. Sebagian karena
pengaruh perang dingin dan lainnya karena tekanan politik domestic yang keras
di Amerika Latin.
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dinamika politik negara-negara Amerika Latin mengalami perkembangan yang
unik, walaupun tujuan dan prioritas mereka tidak berubah. Perkembangan tersebut
mengalami beberapa tahapan, yaitu pendalaman demokrasi, pluralitas dalam bentuk
organisasi dan civil society, serta adanya peranan gereja yang pada abad 19
sempat mengalami penentangan. Selain itu yang tak boleh dilupakan adalah
globalisasi yang telah mendorong perubahan dalam pembuatan kebijakan baik yang
berkaitan dengan domestik maupun luar negeri dalam ranah politik maupun
ideologi.
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan
politik di Amerika Latin lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar
seperti Spanyol, Portugis dan Amerika Serikat, serta oleh munculnya teori-teori
geopolitik seperti Mackinder dengan “Heartland Theory”. Teori geopolitik telah
menyebabkan negara-negara Amerika Latin melakukan tindakan politik yang
disesuaikan dengan kondisi geografis wilayahnya. Menurut penulis, tidak hanya
kekuatan luar yang sebenarnya mempengaruhi dinamika politik di Amerika Latin.
Hal ini juga didorong oleh gagalnya partai politik tradisional untuk memenuhi
keinginan masyarakat. Dibuktikan oleh munculnya partai sayap kiri di Brazil
yang berasal dari gerakan petani dan penduduk asli untuk menghadapi gagalnya
partai Partido dos Trabalhadores yang muncul mewakili rakyat buruh
untuk memenuhi janji kampanye pemilunya.
DAFTAR PUSTAKA
Francis Whitney, ed.Keith W. Olsen. 2004. Garis Besar Sejarah Amerika. Washington DC: Departemen Luar Negeri
Sundoro, M. H. 2012. Sejarah Amerika Serikat. Jember: Jember University Press
id.wikipedia.org, diakses 20 Mei 2014
pukul 22:58
http://sejarah.kompasiana.com/2014/04/13/kisah-kegagalan-bantuan-as-di-amerika-latin-646710.html,
diakses pada tanggal 20 Mei 2014 pukul 23:00
Comments
Post a Comment