Amerika Serikat Sebagai Penegak Demokrasi di Irak (Tugas Akhir)
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pasca perang
dingin muncul sebuah tatanan baru dimana hanya ada satu negara hegemon yang
berperan dalam hubungan internasional. Setelah runtuhnya Uni Soviet dalam
perang dingin, dan menjadikan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara
adikuasa tunggal tanpa kekuatan apapun dan siapapun yang berhak mengontrolnya,
apalagi menentangnya, yang mendominasi kekuasaan dan memiliki kekuatan dalam
menguasai dunia.
Menurut Jowono
Sudarsono, ada tiga isu yang menjadi sorotan baru pasca perang dingin, yaitu
terpusat pada yang dinamakan “3 in 1” yakni lingkungan hidup, hak asasi
manusia, dan demokratisasi. Isu ini sangat berkembang pesat dan masalah ini
juga terus disinggung ketikan negara-negara industry menyoroti negara-negara yang
berkembang. Amerika serikat sendiri juga ikut menyebarkan isu-isu tersebut ke
negara-negara yang digunakan untuk mencapai kepentingan nasionalnya dan
mengimplementasikan kepentinga-kepentingan luar negerinya.
Salah satu
kepentingan Amerika Serikat yang tidak dapat dihalangi oleh siapapun bahkan PBB
adalah Invasi Amerika Serikat ke Irak. Kebijakan Amerika Serikat di wilayah
Timur Tengah salah satunya Irak adalah tidak lepas dari kepentingan hegemoninya
di kawasan ini dan menjaga eksistensi strategi globalnya yang banyak memerlukan
dukungan dari kawasan Timur Tengah. Factor geografis Timur Tengah memiliki arti
stategis yang sangat penting bagi Amerka Serikat.
Berbagai cara ditempuh untuk
menyebarluaskan ajarannya tersebut mulai dari cara lembut hingga cara kasar
seperti invasi, embargo, atau sanksi-sanksi lainnya. Dan pada penulisan makalah
kali ini akan diangkat penyebaran demokrasi yang dilakukan Amerika Serikat dengan paksaan
kepada negara-negara timur tengah di masa pemerintahan George Walker Bush. Selain
itu juga akan dibahas motif lain dari invasi ke negeri seribu satu malam
tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
- Apa
latar belakang Amerika Serikat menegakkan demokrasi di Irak?
- Bagaimana
proses penegakkan demokrasi di Irak?
- Bagaimana
keadaan Irak setelah jatuhnya Saddam Hussein?
1.3
Tujuan Masalah
- Untuk
mengetahui latar belakang Amerika Serikat menegakkan demokrasi di Irak
- Untuk
mengetahui proses penegakkan demokrasi di Irak
- Untuk
mengetahui keadaan Irak setelah jatuhnya Saddam Hussein
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1
Latar Belakang Amerika Serikat Menegakkan Demokrasi di Irak
2.1.1 Keadaan Irak pada Masa Saddam
Husain
Saddam Husain at-Tikriti baru muncul
sebagai orang kuat di belakang layar pada paruh kedua tahun 70-an. Ia berdiri
di belakang Presiden Bakr. Selama beberapa tahun ia mempertahankan posisi yang
tidak menonjol sebagai wakil ketua komando Regional Partai Baath dan juga
menjadi Wakil Ketua Dewan Komando Revolusioner. Pada tanggal 17 Juli 1979,
yaitu pada peringatan ulang tahun kesebelas pemerintahan Baath di Irak, Saddam
menggantikan Bakr sebagai Presiden Republik yang mengundurkan diri karena
alasan-alasan kesehatan.
Di bawah kepemimpinan Saddam Hussein terdapat
tanda-tanda bahwa Irak mengalami suatu situasi politik yang stabil. Meskipun
kestabilan ini dicapai dengan kerja keras dari pihak keamanan, namun kebijakan
ekonomi dan social pemerintah sangat memegang peranan dalam kestabilan ini.
Akan tetapi pada tahun 1980 meletus peperangan antara Iran dan Irak. Terlepas
daripada asal-usulnya, peperangan ini merupakan sebuah tantangan yang berat
bagi pemerintah yang berkuasa di Irak. Namun perkembangan selanjutnya, terutama
semenjak diadakan gencatan senjata tahun 1988, telah memperbaiki citra
pemerintah, dan memperbesar dukungan rakyat kepadanya.
Bulan November 1988, beberapa bulan
setelah gencatan senjata itu, Presiden Saddam Hussein telah mengeluarkan suatu
Program Reformasi Politik yang mengizinkan berdirinya Partai-Partai politik
yang beroposisi kepada Partai Baath. Alasan yang dikemukakan bagi tindakan ini
adalah karena semua bangsa Irak, terdiri dari bermacam-macam latar belakang
etnis, Ideologi, agama, semua telah bekerjasama dalam upaya perang yang lalu,
dan karena itu berhak untuk memainkan suatu peranan yang terlembaga dalam
proses pengambilan keputusan. Majelis Nasional yang dipilih pada bulan April
1989 diberi tugas untuk mengeluarkan undang-undang yang diperlukan untuk
membenarkan adanya Partai-Partai politik itu. Namun demikian, tidak dapat
diharapkan timbulnya di Irak sebuah sistem Liberal seperti yang terdapat di
barat. Presiden Irak sendiri telah menyatakan bahwa masyarakat Irak berbeda
dari masyarakat Barat, karena itu apabila terdapat praktek-praktek yang
berbeda, maka ini adalah suatu hal yang sudah dapat diharapkan.
Akan tetapi, kediktatoran rezim Saddam
Husaeinlah yang menyebabkan Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak, meskipun
ada factor-faktor lain yang mendukung invasi tersebut. Oleh karena itu Amerika
Serikat melakukan invasi ke Irak dengan mengusung HAM dan demokrasi. Amerika
Serikat menegaskan bahwa tiadanya demokrasi berandil besar terhadap tumbuh dan
berkembangnya radikalisme dan aksi kekerasan di dunia Arab. Maka Amerika
Serikatpun mulai menyadari bahwa meredam kekerasan dan aksi terorisme harus
dibarengi dengan penguatan dan penyebaran demokrasi di Timur Tengah.
Pemerintahan di Irak yaitu Saddam Husain yang otoriter dan totaliter dinilai
sangat potensial mendukung kelompok-kelompok pemberontak bahkan kelompok
teroris untuk melawan negara-negara maju yang dianggap menindas seperti Amerika
Serikat. Hal inilah yang membuat Amerika Serikat bersikeras untuk menyerang
Irak yang mentransformasikan rezim otoriter yang tidak kooperatif dengan rezim
demkrasi seperti yang ada di Amerka Serikat.
Amerika Serikat membayangkan bahwa
dengan menggulingkan Saddam Hussein dan menggantikan pemerintahan yang dictator
menjadi demokrasi, rakyat Irak akan serta merta menyambutnya sebagai kemengan
demokrasi, sebagaimana diketahui bahwa menurut Amerika Serikat, rakyat Irak
tidak pernah merasakan demokrasi, terutama setelah Irak dikuasai oleh pemimpin
yang dictator dan otoriter seperti Saddam Husein. Sejak resmi menjadi nomor
satu di Irak (Juli 1979), Saddam Husein oleh pers barat dijuluki sebagai
dictator paling bengis di Timur Tengah, kemudian menjadi manusia paling
berbahaya di dunia atau Hittler zaman ini.
Modus utama penyerangan Irak oleh Amerika
adalah kebijakan luar negeri Amerika yaitu ingin memberantas jaringan terorisme
internasional. Peristiwa 11 September menimbulkan efek yang sangat luar biasa
bagi Amerika baik kedalam maupun keluar. Kebijakan kedalam adalah pengawasan
ketat terhadap pria keturunan arab yang hendak berkunjung ke Amerika baik yang
teridentifikasi berdasarkan ciri-ciri fisik maupun dari nama yang mengandung
unsur Islam, juga sebagian umat Islam yang berada di Amerika di mata-matai dan
di Introgasi, dll. Sedangkan kebijakan keluar yaitu invasi ke Irak karena
indikasi keterkaitan Saddam Husein dengan Osama bin Laden.
Alasan Saddam Husein terkait dengan Osama
bin Laden tidak bisa dijadikan alasan yang cukup kuat untuk menyerang Irak.
Oleh karenanya Amerika melakukan invasi dengan dalih mencari dan menghancurkan
senjata kimia pemusnah massa yang dicurigai dimiliki oleh Irak. Pada akhir
tahun 2002 Dewan PBB, yaitu UNMOVIC menyatakan bahwa di Irak tidak ditemukan
senjata pemusnah massa seperti yang dituduhkan pemerintahan Amerika terhadap
Irak dan dugaan UNMOVUIC tahun 2000 adalah kekeliruan. Namun Amerika bersikukuh
melakukan invasi ke Irak walaupun dengan alasan yang mengada-ada.
Dengan kata lain, Amerika Serikat menginginkan
Irak menjadi negara yang demokrasi untuk mengembalikan kekuasaan negara-negara
yang dinilai non-demokrasi (otoliter/totaliter). Dengan mengusung politik
standar ganda yakni membisu terhadap praktik pelanggaran demokrasi di negara-negara
Arab moderat, namun dalam waktu yang sama senantiasa mempermasalahkan isu
tersebut di negara-negara arab yang berada di luar siklus politik Amerika
Serikat. Amerika Serikat semakin memperlihatkan keinginannya yaitu penyebaran
demokrasi.ke negara-negara dunia seperti yang dilakukan intervensi Amerika
Serikat ke berbagai negara seperti Irak pasca rezim Saddam Husein.
Ideology demokrasi dianggap sebagai
ideology terbaik yang pernah dimilki oleh Amerika Serikat sehingga menyebabkan
Amerika Serikat ingin menyebarkan ideology tersebut. Meskipun muncul indikasi
adanya kepentingan ekonomi dan politik, akan tetapi hal itu hanya semata
dianggap sebagai modus belaka mengingat bahwa dengan penerapan demokrasi juga
dapat dijadikan sebagai instrument politik untuk mencapai tujuan kepentingan
negara semata.
2.1.2
Faktor-faktor Lain Amerika Serikat melakukan Invasi ke Irak
Menurut Wirawan Sukarwo terdapat dua alasan
utama yang melatarbelakangi serangan Amerika Serikat ke Irak. Pertama,
keinginan Amerika Serikat untuk menghentikan proyek pengembangan senjata
pemusnah massal di Irak. Kedua, menjatuhkan rezim Saddam Hussein yang dianggap
memiliki hubungan dengan Al-Qaeda yang mengancam stabilitas regional.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan para pengambil keputusan
(policy makers) di dalam pemerintahan Presiden Bush memutuskan untuk
menyerang Irak dan menumbangkan rezim Saddam Hussein, yaitu:
- Menguasai
Industri Minyak Dunia dan Menghancurkan OPEC
Agresi militer Amerika Serikat ke Irak sangat erat kaitannya
dengan kepentingan minyak bagi Amerika Serikat. Irak merupakan negara yang
mempunyai cadangan minyak sebesar 112 miliar barel atau 11% dari total cadangan
minyak dunia. Para perancang kebijakan pemerintahan Amerika
Serikat
berpendapat bahwa menguasai minyak Irak sangat penting guna mengantisipasi
menurunnya keberadaan minyak dunia sebanyak lima juta barel per hari pada
dekade mendatang. Lebih daripada itu, Badan Energi Internasional memperkirakan
bahwa kebutuhan dunia terhadap minyak akan meningkat sebesar 1,6% pada tahun
2030. Dengan kata lain, kebutuhan minyak dunia yang sekarang berjumlah antara
75-76 juta barel perhari akan meningkat menjadi 120 juta barel perhari pada
tahun itu.
Dengan menguasai minyak Irak, Amerika
Serikat
dapat dengan mudah mempermainkan harga minyak dunia, karena selama ini
penentuan harga minyak masih dikuasai OPEC, bukan oleh satu negara tertentu.
Jatuhnya Irak dan semakin kuatnya pengaruh Amerika
Serikat
di kawasan Teluk tidak saja akan mengamankan suplai minyak bagi Amerika
Serikat
dan sekutunya, tetapi juga mengantarkan Amerika
Serikat
sebagai negara yang dapat mengontrol kepentingan ekonomi (minyak) negara lain.
- Menjaga
Eksistensi dan Keamanan Negara Israel
Amerika Serikat merupakan benteng utama penjaga keselamatan
negara Israel dari ancaman yang sering dihembuskan oleh Irak, karena itu
Amerika Serikat berkepentingan untuk menghancurkan Irak dan pemerintahan Saddam
Hussein. Dengan menghancurkan Irak dan menguasainya, maka Israel akan terbebas
dari ancaman Irak. Dengan adanya perang Amerika Serikat-Irak, maka Irael akan
menggunakan kesempatan itu untuk melakukan penindasan terhadap rakyat
Palestina.
M.
J. Akbar, seorang kolumnis kaliber internasional asal India, dalam Abdul Halim
Mahally (2003:353), menyatakan bahwa Amerika Serikat sesungguhnya tengah berupaya keras
untuk mewujudkan Timur Tengah Baru. Setelah Irak berhasil dikuasai, maka Amerika
Serikat hendak membentuk negara Palestina yang demokratis yang dapat bekerja
sama dengan Israel, karena selama ini Irak merupakan pendukung gerakan
perlawanan Palestina. Selain itu, Amerika Serikat juga ingin mewujudkan ambisi
Israel yang ingin menguasai Timur Tengah. Bagi Amerika Serikat, mendukung
Israel merupakan kepentingannya, karena itu Amerika Serikat secara
terang-terangan menerapkan kebijakan standar-ganda di Timur Tengah. Di satu
sisi, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi-sanksi khusus kepada Irak, sementara
di sisi lain mendukung Israel menindas Palestina.
- Meneguhkan
Pengaruh Politik
Dengan menghancurkan Irak, Amerika
Serikat
semakin terbuka peluangnya untuk menapakkan pengaruh politiknya di Timur
Tengah. Selama ini, pengaruh politik Amerika Serikat di Timur Tengah belum dapat
terwujud secara maksimal, dikarenakan pemerintahan Saddam Hussein tidak mau
tunduk pada Amerika Serikat. Saddam Hussein secara
terang-terangan mempunyai keberanian untuk menentang hegemoni Amerika
Serikat
dan menggalang dukungan dari negara-negara Teluk untuk menentang Amerika
Serikat.
Kebijakan politik AS terhadap Irak
saat penyerangan, dapat disimpulkan menjadi empat butir. Pertama kembalinya tim
inspeksi PBB tanpa syarat ke Irak untuk melanjutkan misinya menghancurkan sama
sekali potensi Irak mengembangkan kembali senjata kimia, biologi, dan nuklir.
Kedua tidak ada perundingan dan komproni dengan Saddam Hussein. Ketiga tidak
ada jamninan pencabutan sanksi atas Irak meskipun Bgahdad mengizinkan tim
onspeksi PBB kembali lagi. Keempat, menggusur kekuasaan Saddam Hussein dan
menggantinya dengan pemerintahan yang lebih loyal pada Barat, seperti skenario
Afghanistan. (Mustafa Abd. Rahman,2003 : 37)
Menurut
menteri Pertahanan AS donald Rumsfeld, tujuan invasi militer ke Irak adalah :
1.Mengakhiri
pemerintahan Saddam Hussein dan membantu Irak transisi menjadi negara
demokratis
2.
Menemukan dan menghancurkan senjata pemusnah massal, program senjata dan
teroris
3.
Mengumpulkan data intelijen mengenai jaringan senjata pemusnah masal dan
teroris
4.
Mengakhiri sanksi embargo dan memberikan bantuan kemanusiaan
5.
Menagamnakan ladang-ladang minyak dan sumber daya alam minyak.
2.2 Proses Penegakkan Demokrasi Amerika Serikat di Irak
Pada bulan Juli 2000, pemerintah Amerika
Serikat mendapat laporan dari badan khusus PBB yang menangani Inspeksi Senjata
Kimia di Irak, yaitu UNMOVIC (United
Nations Monitoring, verification, and Inspection Commission), bahwa Irak
diduga telah menyembunyikan senjata kimia di negerinya. Laporan tersebut
merupakan pemicu awal dari terjadinya serangkaian aksi investigasi senjata di
Irak yang akhirnya menimbulkan keputusan di pihak Amerika Serikat untuk menggempur
Irak yang terjadi pada bulan Maret sampai April 2003.
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan lagi
Resolusi 1441 mengenai perlucutan senjata destruksi atau pemusnah massal Irak
dan pembentukan Tim Inspeksi yang diberi nama UNMOVIC (United Nations
Monitoring, Verification, and Inspection Commision). Menurut resolusi itu,
dalam waktu sebulan Irak harus menyerahkan laporan mengenai senjata pemusnah
massal, sistem, dan program pengembangannya. Pada resolusi ini, hanya Amerika
Serikat dan Inggris yang setuju jika Irak gagal memenuhi ketentuan resolusi
itu, konsekuensinya berat bagi Irak yaitu berupa serangan militer Amerika
Serikat. Jika ada sesuatu yang dianggap sebagai kesalahan Irak, baik disengaja
atau tidak, dapat menimbulkan perang yang menghancurkan negara itu. Dengan
begitu, Amerika Serikat berpotensi memicu provokasi bagi situasi panas berupa
serangan militer ke Irak, bukan cuma melucuti senjata pemusnah massal yang
dicurigai dimiliki Irak, tetapi tujuan akhirnya adalah mengganti pemerintahan
Saddam Hussein.
Pada 14 Februari 2003, Han Blix (Ketua
UNMOVIC) dan El-Baradei (Direktur Jenderal Badan Energi Atom Dunia)
menyampaikan laporan bahwa di Irak tidak ditemukan senjata pemusnah massal.
Kesimpulan itu dinyatakan setelah tim dari PBB tersebut menginspeksi seluruh
gedung Irak, termasuk yang berada di bawah tanah. Pada 7 Maret 2003, Hans Blix
dan El-Baradei kembali menyampaikan laporan kepada PBB, bahwa Irak telah
menghancurkan rudalnya, termasuk Al-Samoud II yang merupakan satu-satunya
senjata pertahanannya.
Pada awal 2003 tanpa menghiraukan laporan
Tim Inspeksi Senjata PBB, Amerika Serikat mengerahkan tahap demi tahap kekuatan
militernya di perbatasan Irak. Beberapa peralatan sudah menunggu komando
serangan dari Amerika Serikat seperti
salah satunya Suadron udara dengan pesawat tempur F-15, F-16 dan beberapa kapal
induk.
Presiden AS, George W. Bush, mengeluarkan
ultimatum kepada Irak, bahwa dalam jangka waktu 48 jam, presiden Irak Saddam
Hussein dan anak-anaknya harus segera meninggalkan Irak. Ultimatum itu berakhir
pada 20 Maret 2003 dan beberapa jam sebelum perang dimulai, Amerika Serikat
menghimbau agar tentara Irak tidak melakukan perlawanan terhadap serangan
tentara Amerika Serikat nanti dan mengajak tentara Irak untuk membangkang
kepada Saddam Hussein.
Tembakan salvo dari kapal induk Amerika
Serikat melayang ke udara Irak tanggal 20 Maret merupakan awal dari perang Amerika
Serikat dan Irak. Setelah tembakan Salvo pada hari itu, lima kapal induk Amerika
Serikat, diantaranya adalah USS Abraham Lincoln, USS Kitty Hawk Dan USS
Theodore saling berlomba-lomba menembakkan rudal-rudal penjelajah Tomahowk ke
Irak. Perang antara Amerika Serikat dan Irak merupakan perang yang timpang dan
tidak seimbang. Irak tidak mempunyai kekuatan laut, sedangkan kapal-kapal induk
Amerika Serikat leluasa menembakkan rudal-rudal mereka ke Irak tanpa ada
perlawanan dari pasukan Garda Republik. Dalam perang ini, kekuatan Amerika
Serikat (dan sekutunya) sangat mendominasi karena Irak juga tidak berdaya
menghadapi serangan darat dan udara dari Amerika Serikat. Perang antara Amerika
Serikat dan Irak dimulai pada tanggal 20 Maret 2003 dan berakhir pada 9 April
2003 dengan didudukinya Baghdad, ibukota Irak, oleh pasukan Amerika Serikat dan
sekutunya.
Tanggal 27 Maret, Sidang Dewan Keamanan PBB
mendesak Amerika Serikat dan negara sekutunya untuk menarik semua pasukannya
dari Irak tanpa syarat apapun. Negara-negara anggota Liga Arab dan Gerakan Non
Blok (GNB) menyatakan serangan militer tersebut tidak sah dan melanggar aturan
PBB. GNB dan Liga Arab adalah dua kelompok yang mengusulkan digelarnya Sidang
Khusus yang bersifat terbuka tersebut. Sementara itu, negara-negara Uni Eropa
juga menyiratkan setujunya kawasan itu terhadap serangan militer Amerika
Serikat ke Irak, karena Uni Eropa menjunjung tinggi integritas dan kedaulatan
Irak dan menghormati hak-hak yang dimiliki rakyat Irak. Para penentang perang
juga berasal dari rakyat Amerika Serikat, di berbagai negara bagian Amerika
Serikat, terjadi demonstrasi untuk menentang perang.
Perang yang tidak imbang antara Amerika
Serikat dan Irak membuat perang berlangsung dengan cepat. Tanggal 9 April 2003,
perang dinyatakan berakhir dengan dikuasainya kota Baghdad, yang merupakan
pusat pemerintahan Saddam Hussein, oleh pasukan Amerika Serikat. Namun senjata
pemusnah massal yang menjadi alasan utama serangan Amerika Serikat (dan
sekutunya) ke Irak tidak juga diketemukan.
2.3 Keadaan Irak Setelah Jatuhnya Saddam Hussein
Tumbangnya patung Saddam Hussein setinggi 15
meter yang terbuat dari perunggu secara simbolis melambangkan runtuhnya rezim
Saddam Hussein. Perang telah dinyatakan selesai oleh Bush dan selanjutnya irak
jatuh ke tangan pasukan pendudukan pimpinan Amerika
Serikat. Setelah tumbangnya Saddam Hussein, Irak memasuki babak baru yang
sangat berbeda dari sebelumnya. Dari perang yang berlangsung selama 43 hari ini
dapat dikatakan bahwa irak mengalami kekalahan. Amerika
Serikat telah berhasil menjatuhkan rezim Saddam Hussein dan membentuk pemerintahan
baru di Irak yang dijanjikan demokratis. (Sumargono, 2010 : 96).
Melihat perkembangan Irak pasca Saddam Hussein,
dapat disimpulkan bahwa tantangan yang dihadapi AS dan sekutunya pasca perang
sangat berat. Kenyataan di lapangan memperlihtkan bahwa pasukan pendudukan
tidak dapat sepenuhnya menciptakan stabilitas, keamanan. Kelompok-kelompok
oposisi yang sebelumnya telah menjalin hubungan erat dengan AS, tidak
mengingkan para pejabat AS memainkan peran yang lebih besar dalam mengelola
pemerintahan pasca perang. Kelompok ini kemudian menyatakan bahwa orang-orang Irak
kompeten dan mampu untuk mebangnun Irak kembali.
Harapan rakyat Irak untuk membangun kembali Irak
tanpa bantuan asng tidak terwujud, karena AS telah mempunyai skenario dan
rencana sendiri dalam Irak. Setelah runtuhnya Saddam Hussein yang disusul
dengan pembentukan Dewan Pemerintah Sementara ternyata muncul
perlawanan-perlawanan bersenjata. Berbagai kelompok bersenjata bermunculan
bahkan sampai pada hari penyerahan kedaulatan rakyat Irak oleh AS ke Irak
tanggal 28 Juni 2004. Setelah penyerahan kedaulatan, rakyat masih harus kecewa
karena tentara pendudukan masih belum juga angkat kaki dari Irak, dengan dalih
untuk menumpas aksi kelompok bersenjata Irak.
Tentara pendudukan tidak begitu saja
meninggalkan Irak bahkan samapi diadakan pemilu di Irak pada hari Minggu, 30
Januari 2005. Tentara pendudukan tetap bercokol di Irak dan kelompok-kelompok
bersenjata melakukan perlawanan. Aksi penyerangan dan bom bunuh diri masih
terus terjadi hingga perlawanan terhadap pasukan pendudukan. Aksi ini tidak
hanya mengancam tentara pendudukan tetapi juga mengancam warga sipil Irak. Baku
tembak yang terjadi mengakibatkan sulitnya keamanan terwujud, meski pemerintah
yang baru sudah terbentuk. Selama pasukan pendudukan masih ada di Irak maka
kelompok-kelompok bersenjata masih terus beraksi dan selam itu pula rakyat Irak
masih juga jauh dari rasa aman.
Dalam pengakuannya, Amerika Serikat selalu
mengatakan bahwa serangannya ke Irak untuk menegakka demokrasi. Akan tetapi
setelah rezim Saddam Husein jatuh, Amerika Serikat mengalami kesulitan
membangun pemerintahan baru yang demokratis. Hal ini disebabkan:
a.
Prinsip Amerika Serikat sendiri tidak
demokratis, melainkan berdasarkan pada kepentingan politiknya, yaitu mencegah
munculnya penguasa yang menentang kekuasaan atau berafiliasi dengan negara yang
menjdai musuh Amerika Serikat.
b.
Pemimpin yang dipilih Amerika Serikat untuk
memimpin Irak tidak mempunyai basis pendukung yang kuat dikalangan rakyat.
Banyak kalangan yang cenderung dalam melihat
peristiwa yang terjadi di Irak, mereka berpendapat bahwa serangan Amerika
Serikat ke Irak sudah melanggar tatanan politik modern, seperti piagam PBB,
kedaulatan otoritas, pengakuan politik, dan prinsip-prinsip yang merupakan pra
syarat terwujudnya stabilitas politik. Pada tanggal 15 Desember 2005, pemilu
demokratis berhasil diadakan di Irak, dimana kelompok sunni yang diwakili oleh United Iraqi Alliance memperoleh kursi
terbanyak di palemen Irak, yaitu sebanyak 128 dari total 275 kursi yang ada.
Meskipun pemilu berhasil dilaksnakan, namun
legitimasi pemerintahan hasil pemilu sangat rendah karena rakyat Irak menggagap
pemerintah itu sebagai pemerintahan boneka Amerika Serikat dan rakyat juga ragu
terhadap kekapabilitasnya infasi Amerika Serikat ke Irak bukannya membawa
perdamaian dan kesejahteraan Irak khusunya dan Timur Tengah pada umunya, namun
semakin meningkatkan terorisme dan radikalisme. Peristiwa tersebut membuat
stabilitas politik semakin terganggu, kekerasan semakin meningkat dan yang
jelas harapan akan terwujudnya negara yang demokratis akan semakin jauh dari
kenyataan.
Merujuk pada tujuan dasar dari demokrasi dalam
mewujudkan keamanan manusia, hingga saat ini demokratisasi Amerika Serikat di
Irak tidak menampakkan adanya hasil yang pasti. Hal ini justru cenderung
semakin kacau pasca invasi yang dilakukan Amerika Serikat. Melihat betapa
besarnya pentingnya Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, membuat
demokratisasi Amerika Serikat terhadap Irak hanyalah merupakan alat bagi Amerika
Serikat untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional guna mencapai
kepentingan nasionalnya di kawasan Timur Tengah. Amerika Serikat disini
memnfaatkan Irak sebagai pintu masuk untuk mendapatkan akses yang lebih besar
untuk mengendalikan negara-negara Timur Tengah lainnya yang dianggap dapat
mengancam kepentingan Amerika Serikat, terutama Iran dan Syiriah.
2.3.1Keuntungan
Amerika Serikat Pada Invasi Irak Tahun 2003
Dalam invasi yang
dilakukan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 terdapat
kepentingan-kepentingan Amerika Serikat yang terkandung di dalamnya. Dan dengan
keberhasilannya menaklukkan rezim Saddam Hussein di Irak, Amerika Serikat
memperoleh keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
1. Keuntungan Secara Politik
Dengan keberhasilan
invasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Irak pada tahun 2003 telah
membuat popularitas Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dan hegemon di
kawasan Timur Tengah secara khusus dan dunia internasional meningkat pesat.
Hal ini terjadi karena Amerika Serikat mampu
menaklukan rezim Saddam Hussein yang terkenal kuat di kawasan Timur Tengah. Dan
penaklukan oleh Amerika Serikat ini dilakukan walaupun ditentang oleh Dewan
Keamanan PBB, anggota-anggota NATO seperti Perancis dan Jerman karena dirasakan
invasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat ini kurang beralasan dan dapat
mengguncang stabilitas politik dunia.
Peristiwa ini kemudian menggambarkan
keperkasaan Amerika Serikat dengan kekuataannya dapat membuat PBB dan NATO pun
tidak berkutik dengan kebijakan perang yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
2. Keuntungan Secara Ekonomi
Seperti yang telah
diketahui, Irak merupakan negara penghasil minyak terbesar setelah Arab Saudi.
Dan minyak merupakan suatu komoditas yang sangat menjanjikan bagi suatu negara,
karena dengan memiliki minyak, suatu negara mampu mempengaruhi harga minyak
dunia.
Dengan keberhasilan
Amerika Serikat menaklukkan Irak, Amerika Serikat dengan pemerintahan
sementaranya di Irak membuat Irak memprivatisasi semua perusahaan minyak di
Irak dan kemudian dijual kepada Amerika Serikat. Hal ini jelas sangat menguntungkan
bagi Amerika Serikat yang juga sudah menguasai sebagian perusahaan minyak di
Kuwait.
”Bila AS mengontrol penuh sumur minyak Irak dan Kuwait, maka
Washington akan berada pada posisi lebih kuat dalam menghadapi negara-negara
Arab Teluk, khususnya Arab Saudi, dan pada gilirannya bisa mendikte
negara-negara Arab tersebut tanpa merasa takut terganggu arus suplai minyaknya
dari kawasan Timur Tengah” (Madjub, 2002).
Dan bukan hanya
mampu memiliki posisi strategis di kawasan Timur Tengah, dengan dimilikinya
kilang-kilang minyak tersebut, Amerika Serikat juga dapat menekan negara-negara
industri lain, seperti halnya di Eropa, karena negara-negara industri sangat
tergantung pada minyak demi keberlangsungan perkembangan perekonomian
domestiknya.
3. Keuntungan Secara Militer
Dalam invasi yang
dilakukan Amerika Serikat terhadap Irak pada tahun 2003 ini juga menimbulkan
keuntungan tersendiri bagi militer Amerika Serikat. Amerika Serikat yang
merupakan negara adikuasa mendedikasikan dirinya menjadi sebuah negara yang
terkuat dalam segala aspek, termasuk keunggulan dalam bidang militer.
Keunggulan yang
ingin dicapai adalah keunggulan dalam hal jumlah dan teknologi. Dimana dengan
invasi yang dilakukan terhadap Irak, Amerika Serikat memiliki kesempatan untuk
memamerkan segala perlengkapan militernya yang canggih dan tak tertandingi.
Hal ini sengaja dilakukan, selain
untuk mengukuhkan posisi Amerika Serikat di dunia internasional, juga dapat
mengintimidasi negara lain yang lebih lemah dengan memamerkan kekuatannya. Sehingga
negara lain akan merasa enggan untuk berlawanan cara pandang dari Amerika
Serikat karena takut menjadi korban selanjutnya seperti Irak.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konflik senjata
antara AS (Amerika Serikat) dengan Irak pada tahun 2003, ada tiga tujuan yaitu
AS ingin menghancurkan senjata pemusnah massal, menyingkirkan ancaman teroris
internasional dan membebaskan rakyat Irak dari penindasan rezim Saddam Hussein
dengan cara memulihkan demokrasi di Irak.
Jatuhnya Saddam
Hussein yang tidak lepas dari intervensi AS yang dilatarbelakangi berbagai misi
invasi sebagi berikut :
(1) Mengakhiri rezim Saddam Hussein yang dianggap diktaktor oleh AS;
(2) Mengidentifikasi, mengisolasi, dan mengeliminasi senjata
pemusnah massal;
(3) Mencari, menangkap, dan membawa keluar teroris dari Negara itu;
(4) Mengumpulkan data intelijen terkait yang bisa digunakan dalam
jaringan pemberantasan terorisme internasional;
(5) Mengumpulkan data
intelijen yang terkait dengan jaringan global di pasar gelap perdagangan senjata pemusnah massal;
(6) Mengakhiri sanksi dan secepat mungkin mengirim bantuan
kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan rakyat Irak;
(7) Mengamankan sumber-sumber ladang minyak yang menjadi milik
rakyat Irak;
(8) AS akan menjadi penolong rakyat Irak menciptakan masa transisi
untuk membangun sebuah pemerintahan yang representatif.
Pasca invasi AS
negara Irak mengalami berbagai macam perubahan, baik perubahan sosial, ekonomi,
dan politik sebagai akibat dari perang antara AS dengan Irak. Perubahan sosial
yang muncul setelah tumbangnya rezim Saddam Hussein adalah terjadinya perubahan
sosial yang drastis sehingga memperuncing ke arah perang saudara diantara
rakyat Irak itu sendiri; antara para pendukung Saddam dan yang kontra
terhadapnya, antara kelompok Sunni dan kelompok Syiah, maupun suku Kurdi
yang merasa berhak terhadap tampuk pemerintahan Irak. Untuk kondisi
ekonomi Irak pasca Invasi Amerika, minyak menjadi masalah utama. Oleh karena
itu, Amerika pasca invasi, akan mengandalkan cadangan minyak negerinya dari
Irak, dengan cara berusaha memasukkan perusahaan-perusahaan swasta miliknya di
Irak dalam program rekonstruksi infrastuktur minyak di Irak. Dan di bidang
politik secara umum, serangan AS yang bertujuan untuk menegakkan demokrasi di
Irak telah berhasil menggulingkan rezim Saddam Hussein yang dianggap otoriter
oleh AS. Namun ketika pemilu berhasil dilaksanakan, legitimasi pemerintah hasil
pemilu sangat rendah karena rakyat Irak menganggap pemerintahan hasil pemilu
adalah pemerintahan boneka Amerika dan rakyat juga ragu terhadap
kapabilitasnya. Legitimasi politik yang rendah tersebut dapat menyebabkan
ketidakstabilan politik yang ditandai dengan tingginya intensitas kekerasan dan
konflik yang terus terjadi karena penguasa gagal untuk menjalankan kekuasaan
yang disebabkan oleh rakyat yang tidak mau menaati peraturan-peraturan yang
ditetapkan penguasa. Oleh karena rakyat tidak taat, maka penguasa juga akan
gagal mengendalikan konflik.
3.2 Saran
Perang adalah hanya menimbulkan keengsaraan bagi
rakyat sendiri, meskipun keinginan yang ingin dicapai adalah kebaikan.
Belajarlah untuk menjunjung tinggi toleransi dan utamakan perdamaian, serta
jangan mengutamakan kepentingan pribadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Pareanom A, dkk. 2005. Amerika Dan Dunia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
Hapsaridn.
2011. Jatuhnya
Irak dalm Serangan Amerika Serikat 2003 http://hapsaridn.sejarah halaman 2.com (diakses tanggal 26 April
2013)
Fersyhana
A. 2011. Invasi
Amerika Serikat ke Irak tahun 2003. http://fersyhana.wordpress.com
(diakses tanggal 26 April 2013)
Comments
Post a Comment